Danone Group hari ini memfasilitasi Kuliah Umum “Peran Kewirausahaan Sosial dalam Pengentasan Kemiskinan” yang dibawakan oleh dua orang pembicara, Prof. Muhammad Yunus, Pendiri Grameen Bank dan Pemenang Nobel Perdamaian 2006 serta Erie Sudewo, Pendiri Dompet Dhuafa Republika.  Kuliah Umum berlangsung di Hotel Shangri-la, Jakarta dihadiri oleh lebih dari 300 peserta yang terdiri dari pembuat kebijakan, sektor swasta, akademisi dan media.

Pimpinan Danone AQUA, Parmaningsih Hadinegoro pada saat sambutan pembukaan menggarisbawahi bahwa peran kewirausahaan sosial mempunyai andil besar dalam upaya mengentaskan kemiskinan. “Kerjasama dengan Grameen sudah berlangsung dari tahun 2006 melalui Grammen Danone Food  Project di Bangladesh, dimana pengentasan kemiskinan dimulai dengan peningkatan gizi anak-anak,” ungkap Parmaningsih.

Mengilhami peran sosial perusahaan yang diusung oleh Danone Group. Semangat yang sama ditularkan pula di Indonesia. Di bawah payung Aqua Lestari inisiatif keberlanjutan AQUA Group sejak tahun 2006 sebagai perwujudan visi dan komitmennya dalam mengelola kegiatan operasionalnya secara bertanggung jawab demi keberlanjutan bisnis dan kemajuan sosial.  

Salah satu bentuk nyata komitmen perusahaan yang baru-baru ini dibuktikan adalah peresmian Koperasi Pusur Lestari yang diresmikan oleh Menteri Koperasi dan UMKM, Syarifuddin Hasan kemarin di Klaten, Jawa Tengah (23/10/2012). Koperasi Layanan Pengembangan Agribisnis Pusur Lestari merupakan koperasi serba usaha yang didirikan pada pertengahan Februari 2012 dalam rangka memberikan layanan bagi masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kemandirian anggotanya. Melalui koperasi ini, Danone AQUA berupaya meningkatkan kapabilitas masyarakat melalui praktek-praktek pertanian yang ramah lingkungan, akses layanan keuangan mikro, kemampuan dalam mengembangkan usaha produktif serta akses terhadap pasar.

 

Memahami konsep bisnis sosial

Dalam kuliah umum, Prof. Muhammad Yunus memaparkan bahwa model bisnis sosial merupakan salah satu alternatif bisnis yang bisa memperkaya pilihan dan membuka dimensi baru - di dunia bisnis. Bisnis sosial bukan merupakan pengganti dari bisnis model konvensional yang sudah ada. Bisnis ini bertujuan bukan untuk memaksimalkan keuntungan atau dividen melainkan memecahkan masalah dan mengentaskan kemiskinan. 

Berkaitan dengan bisnis sosial, lebih jauh lagi Erie Sudewo menggarisbawahi bahwa kewirausahaan sosial adalah individu yang memecahkan kemiskinan dengan prinsip-prinsip bisnis.

Perbedaan utama filantrofi dan bisnis sosial ada pada konsep keberlanjutan dan pemberdayaan. Melalui bisnis sosial, keberlangsungan bisnis dan upaya pengentasan kemiskinan lebih terjamin karena dana tetap bergulir dan tidak habis dalam satu kesempatan.

 

Bicara tentang kemiskinan

Kemiskinan tidak pernah berdiri sendiri, melainkan merupakan aspek multidimensi. Kemiskinan dapat diartikan sebagai ketidakmampuan mengelola sumber daya. Untuk membuat perbaikan kadang diperlukan pemutar balikan sistem yang sudah mapan. Oleh sebab itu, pengentasan kemiskinan tidak dapat diraih dengan kegiatan filantrofi atau sumbangan semata. Kegiatan ini bahkan bisa menjadi akar penyebab pelestarian kemiskinan karena pada hakekatnya tidak menyentuh masalah utama kemiskinan itu sendiri.

Kemiskinan mempunyai banyak wajah sehingga untuk mengentaskan kemiskinan diperlukan intervensi inovatif yang kadang terlihat tidak menyasar langsung problem kemiskinan. Kegiatan pengentasan kemiskinan dapat dilakukan melaui program kredit mikro, kesehatan, pendidikan, peningkatan kapasitas/kemandirian serta tanggap darurat.

 

Pembelajaran dari Grameen Bank

Pada awalnya, model bisnis ini identik dengan kredit mikro. Akan tetapi dengan berjalannya waktu dan kebutuhan  masyarakat, di Grameen Bank bisnis kami tidak lagi terbatas pada kredit mikro,  melainkan pemberdayaan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.  Ada beberapa studi kasus kesuksesan Grameen Bank. Antara lain:

1.       Program Grameen Danone Food Project. Kemiskinan diatasi dengan perbaikan gizi anak-anak. Melalui program ini Danone meluncurkan produk yogurt khusus dengan harga yang sangat terjangkau namun bernilai gizi tinggi. Anak-anak yang mengkonsumsi yogurt ini seminggu dua kali memperoleh kesehatan yang lebih prima dibandingkan anak-anak kurang gizi dan berdaya tahan lemah. Pendekatan ini berhasil menyelesaikan salah satu masalah yaitu tingginya tingkat kurang gizi anak-anak Bangladesh.

2.       Konversi kompor. Konversi kompor tradisional menjadi kompor modern dilakukan Grameen melalui pendekatan bisnis sosial. Dengan menggunakan kompor modern, upaya memasak lebih efisien dan asap tungku yang menjadi gangguan bagi kesehatan bisa dihindari.

3.       Pendanaan sekolah perawat. Grameen mendanai sekolah jururawat yang saat ini berhasil mencetak 100 perawat baru setiap tahun. Dengan jumlah tenaga kesehatan yang meningkat, kesehatan masyarakat di Bangladesh ikut meningkat dan pemiskinan akibat sakit yang menyebabkan hilangnya waktu produktif bisa dikurangi.

 

Pembelajaran dari Dompet Dhuafa

Pembelajaran yang diperoleh dari Dompet Dhuafa juga tidak kalah menarik. Berawal dari pemberian beasiswa dan bantuan permodalan, kini Dompet Dhuafa beranjak dari sekedar aktifitas menjadi lembaga sosial yang berfokus pada 4 pilar: ekonomi, edukasi, kesehatan, filantrofi, dan mitigasi bencana.

Program yang berhasil dibangun Dompet Dhuafa adalah:

1. Sekolah SMA dimana siswa lulusan sekolah SMU berhasil 100% diterima di perguruan tinggi negeri dalam kurun waktu dua tahun berturut-turut.

2. Membangun lembaga keuangan mikro syariah di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam sehingga masyarakat dapat mendirikan usaha ternak, transportasi dan pertanian sehat.

3. Pendirian rumah sakit untuk kelompok tidak mampu.

 

Ringkasan

Kuliah umum ini merangkum beberapa titik temuan:

· Bisnis sosial merupakan alternatif bisnis yang bertujuan untuk memecahkan masalah atau mengentaskan kemiskinan.

· Faktor utama yang dibutuhkan dalam membangun bisnis sosial adalah kemampuan untuk berpikir kreatif dan inovatif.  Sebuah gagasan inovatif dapat menarik minat penyandang dana.

Danone sebagai lembaga bisnis konvensional berhasil memadukan komitmen bisnis dan sosialnya dan menjadi salah satu studi kasus yang sukses.